BFC, PANGKAL PINANG — Di lorong ruang tunggu poli anak RSUD Depati Hamzah, ada kecemasan yang tak terucap namun terasa kuat di udara.
Sejak kabar penetapan tersangka terhadap dr. Ratna Setia Asih, Sp.A mencuat, para orang tua yang selama ini menggantungkan harapan kesembuhan anak-anak mereka pada sang dokter tampak dilanda kekhawatiran yang sama.
“Bagaimana nasib anak kami nanti?,”
Begitulah yang sama-sama mereka rasakan, dan khawatirkan nasib anak-anak mereka.
Eric, ayah dari seorang anak penderita diabetes yang sudah tiga tahun menjadi pasien tetap dr. Ratna, masih ingat bagaimana malam-malam sulit terlewati karena satu suara yang selalu menjawab teleponnya.
“Jam satu malam pun, kalau anak saya tiba-tiba drop, saya telepon. Dokter Ratna selalu angkat. Dia dengar dengan sabar, dia jelaskan dengan pelan apa yang harus kami lakukan,” tutur Eric dengan mata berkaca-kaca.
Bagi Eric, dokter Ratna bukan sekadar tenaga medis. Ia adalah “penjaga malam” yang membuat keluarganya mampu melewati masa-masa penuh ketakutan.
“Anak saya ini penyakitnya bisa kumat kapan saja. Tanpa arahan beliau… saya tidak tahu harus bagaimana. Saya bingung kalau nanti beliau dipenjara,” kata Eric lirih.
Tak jauh berbeda dengan Evi. Ibu dari anak penyandang thalassemia ini mengangguk saat mendengar cerita Eric. Ia pun punya kisah serupa.
“Lebaran, Minggu, hari libur apa pun… dr. Ratna tetap datang visit. Tetap cek anak-anak kami,” ucapnya.
“Anak-anak kami ini saling mengenal. Mereka bilang tangan dokter Ratna itu dingin, menenangkan. Kalau beliau tidak ada, siapa yang akan rawat kami?”
Suara Evi bergetar. Ia tahu tidak ada orang tua yang mau kehilangan anak.
Ia pun berduka atas meninggalnya Aldo, bocah yang kasusnya kini mengantarkan dr. Ratna ke meja hukum.
“Tapi kami mohon… tolong pikirkan juga anak-anak kami yang masih berjuang,” katanya pelan.
Kisah-kisah yang Jarang Tersorot
Shela, ibu dari anak yang juga mengidap diabetes, merasakan hal yang sama.
“Banyak dokter anak di dunia ini, tapi kami nyaman dengan cara beliau. Banyak anak-anak terbantu di tangan beliau,” katanya.
Lain lagi dengan pengalaman Bunda Eni.
Anaknya dua kali masuk ICU —tahun-tahun panjang sejak 2018 hingga kini, ketika sang anak kini berusia sembilan tahun.
“Kalau dulu di IGD dr. Ratna tidak seteliti itu, tidak sedetail itu… mungkin anak saya sudah tidak ada. Saya tidak bisa bayangkan,” ujarnya lirih.
Di antara kisah-kisah ini, perasaan yang sama menggumpal cemas, takut kehilangan, dan berharap proses hukum bisa mempertimbangkan keberlangsungan layanan pediatri di Pangkalpinang.
Kasus dr. Ratna tidak hanya mengguncang para orang tua pasien, tetapi juga komunitas medis.
IDI Wilayah Bangka Belitung melalui dr. Arinal, Sp.DVE, menyampaikan dukungan penuh.
“IDI selalu memberikan bantuan moril maupun materil kepada sejawat. Kami berterima kasih kepada Kejaksaan karena memberikan penangguhan penahanan demi pelayanan pediatri di Babel,” ujarnya. dilansir dari bangkapos.com.
Bagi IDI, keberadaan seorang dokter spesialis anak bukan hanya soal profesi, tetapi soal nyawa dan masa depan anak-anak yang bergantung pada layanan mereka.
Di Balik Ketegaran Seorang Dokter
Pada sisi lain, dr. Ratna menjalani proses ini dengan ketegaran yang ia sebut datang dari keluarganya.
“Sejak awal saya sudah melakukan hal yang benar dan sesuai SOP. Tapi entah kenapa, lama-lama arah kasus ini seperti menyudutkan saya,” katanya.
Ia tak pernah membantah bahwa kasus Aldo adalah tragedi.
Namun ia juga yakin bahwa upaya medis yang ia berikan saat itu sudah sesuai standar.
Ketika rekomendasi MDP KKI tak bisa dijelaskan secara memadai, ia mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi.
Ketegaran itu ia jaga, meski ia tahu ada ratusan pasang mata kecil yang menunggu kehadirannya setiap hari.
Anak-Anak Itu Masih Menunggu
Di grup WhatsApp pasien diabetes, thalassemia, dan kanker darah, nama dr. Ratna setiap hari muncul dalam percakapan.
Bukan dalam bentuk pembelaan, tetapi dalam bentuk kecemasan yang polos.
“Kalau bulan depan jadwal cek darah, siapa gantikan dokter?”
“Anak saya harus evaluasi insulin… gimana ya?”
“Kami takut, kami butuh beliau.”
Kandar, ayah dari anak penderita kanker darah, menyimpulkan perasaan para orang tua itu dengan satu kalimat.
“Kami berbelasungkawa untuk Aldo. Kami juga ingin keadilan. Tapi tolong… jangan biarkan anak-anak kami kehilangan harapan yang tersisa.”
Kasus dr. Ratna adalah cermin rapuhnya ekosistem kesehatan di daerah.
Ketika satu dokter anak jatuh dalam pusaran hukum, bukan hanya satu keluarga yang terdampak—tetapi ratusan orang tua yang sedang berjuang menjaga hidup anak-anak mereka. (red).






