Hukum Ditantang Terang-Terangan! Tambang Timah Ilegal Menggila Lagi di Pantai Jelitik, Aparat Bungkam?

oleh

BFC, SUNGAILIAT BANGKA – Aktivitas penambangan timah ilegal kembali menjadi pemandangan terbuka di kawasan Pantai Jelitik, Sungailiat, Kabupaten Bangka. Puluhan ponton isap produksi (PIP) tampak beroperasi bebas di tepi laut, persis di samping kawasan tambak udang milik warga.

Pemandangan ini memunculkan pertanyaan keras: ke mana aparat penegak hukum? Mengapa aktivitas yang jelas-jelas melanggar hukum dibiarkan begitu saja?

Pantauan awak media pada Selasa, 17 Juni 2025, memperlihatkan bahwa aktivitas tambang ilegal ini berlangsung santai, tanpa hambatan, dan sangat terang-terangan.

Tak ada kesan sembunyi-sembunyi. Ponton berjejer rapi. Para pekerja tambang tampak hilir mudik di atas ponton tanpa rasa khawatir akan ditindak aparat.

Tambang ilegal di kawasan ini bukan cerita baru. Warga setempat menyebut tambang serupa sudah berulang kali beroperasi di Pantai Jelitik. Hanya sesekali dihentikan, itupun untuk waktu yang sangat singkat.

“Mereka sempat diam sebentar, tapi balik lagi. Kayaknya nggak pernah benar-benar ditindak tegas,” ujar seorang warga yang meminta namanya tidak disebut.

Warga lainnya mengungkapkan bahwa penambangan ini sudah menjadi hal biasa. Namun yang mereka sesalkan adalah sikap pembiaran dari aparat penegak hukum.

Kini, aktivitas ilegal itu bukan hanya kembali muncul, tapi juga tampak lebih terorganisir dan berani. Seolah-olah para penambang tahu bahwa tak ada yang akan menyentuh mereka.

“Kalau aparat tidak datang-datang juga, ya wajar kalau mereka makin berani. Ini jadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” ujar aktivis lingkungan di Bangka.

Pantai Jelitik merupakan wilayah pesisir yang rawan abrasi dan memiliki nilai ekologis penting. Selain itu, kawasan ini juga berbatasan langsung dengan tambak udang yang menopang ekonomi masyarakat lokal.

Dengan adanya penambangan ponton isap produksi, risiko kerusakan lingkungan meningkat. Lumpur dan limbah tambang bisa mencemari laut, merusak biota, serta mengganggu keberlangsungan tambak.

Merujuk pada UU No. 27 Tahun 2007 juncto UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, penambangan di wilayah pesisir tanpa izin adalah tindakan pidana.

Ditambah lagi, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba juga mengatur secara ketat aktivitas pertambangan di laut. Penambangan ilegal di Jelitik jelas melanggar hukum.

Yang paling mencolok adalah absennya penegakan hukum. Tak ada tanda-tanda kehadiran Polres Bangka maupun tim dari Polda Kepulauan Bangka Belitung.

“Mereka ini menantang hukum di depan mata. Tapi nggak ada tindakan. Aneh,” keluh warga lainnya.

detikBabel telah menghubungi pihak Polres Bangka dan Polda Babel untuk meminta konfirmasi dan sikap mereka terhadap aktivitas tambang ilegal ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada jawaban resmi.

Kecurigaan pun mencuat. Warga menduga ada kekuatan besar di balik kebal hukum yang dinikmati para pelaku tambang ilegal ini.

“Kalau cuma penambang biasa, pasti sudah ditangkap. Tapi ini seperti ada yang melindungi. Siapa? Kami tidak tahu,” kata seorang tokoh masyarakat.

Kembalinya tambang ilegal di Pantai Jelitik seolah menjadi simbol bangkitnya kembali tambang liar di Bangka Belitung. Fenomena ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketegasan pemerintah.

Beberapa aktivis menyebut hal ini sebagai bentuk “kriminalisasi lingkungan oleh pembiaran sistemik”.

Desakan pun muncul dari berbagai kalangan. Kapolda Babel diminta untuk turun langsung menindak tegas pelaku tambang ilegal di Jelitik.

Masyarakat meminta agar tidak hanya penambang lapangan yang ditindak, tapi juga dalang dan pemodal di balik layar.

Selain aparat kepolisian, Pemkab Bangka dan instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Dinas Pertambangan juga dinilai bertanggung jawab atas pembiaran ini.

“Jangan hanya berlindung di balik kewenangan pusat. Ini soal tanggung jawab moral,” tegas seorang aktivis lingkungan di Sungailiat.

Beberapa aktivis bahkan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri kemungkinan keterlibatan aparat atau pejabat dalam jaringan tambang ilegal.

“Kalau ada oknum yang terlibat, KPK harus masuk. Jangan biarkan rusaknya hukum dan lingkungan karena ulah mafia tambang,” katanya.

Tambang ilegal di Jelitik bukan sekadar soal ekonomi atau perut semata. Ini adalah bentuk perampasan ruang hidup warga dan pelecehan terhadap aturan negara.

Jika penambangan ilegal ini terus dibiarkan, maka wajar jika publik bertanya: siapa sebenarnya yang dilindungi oleh hukum?

Apakah rakyat, atau para cukong tambang yang bersembunyi di balik tambang rakyat?

Dalam konteks yang lebih luas, tambang ilegal di Pantai Jelitik adalah tantangan terbuka terhadap kedaulatan hukum negara.

Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat dan lingkungan, bukan membiarkan ruang publik dikuasai oleh aktivitas ilegal.

Pantai Jelitik seharusnya menjadi kawasan wisata dan kawasan konservasi. Tapi hari ini, ia menjadi simbol pembiaran dan kelemahan penegakan hukum.

Sementara itu warga setempat hanya ingin satu hal: negara hadir. Bukan hanya dalam bentuk spanduk sosialisasi, tapi dalam bentuk tindakan nyata.

Jika aparat dan pejabat terus bungkam, maka masyarakat tak akan tinggal diam. Suara protes dan desakan akan terus menguat.

Karena ketika hukum tak lagi berpihak pada keadilan, maka suara rakyatlah yang akan berbicara paling keras. (Dedi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.