PLTN Berbasis Thorium Jagan dijadikan alat Propaganda kepentingan Bisnis Maupun Politik

oleh

BFC, BANGKA TENGAH – Publik Bangka Belitung dikejutkan oleh hasil penelitian yang menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen masyarakat menerima pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berbasis thorium. Angka itu tampak meyakinkan, namun di balik kesimpulan yang indah, terselip tanda tanya besar: sejauh mana riset ini benar-benar independen?

Diketahui, penelitian tersebut difasilitasi oleh PT Thorcon, perusahaan yang justru menjadi promotor proyek PLTN itu sendiri. Di titik inilah persoalan muncul. Sebab, independensi adalah fondasi riset akademik. Ketika pihak yang memiliki kepentingan langsung ikut memfasilitasi, riset kehilangan makna obyektifnya.

Pertanyaan publik pun wajar: siapa yang menyusun instrumen penelitian? Bagaimana sosialisasi dilakukan? Apakah masyarakat benar-benar memahami risiko nuklir sebelum menyatakan “setuju”? Tanpa transparansi metodologi dan sumber dana, angka penerimaan itu berpotensi hanya menjadi alat legitimasi.

Riyan, salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Bangka, mengatakan, masyarakat tidak akan menolak riset, tidak pula menolak kemajuan teknologi. Tapi pengetahuan tak boleh dijadikan alat propaganda. Dunia akademik harus tetap menjaga jarak aman dari kepentingan bisnis maupun politik.

“Masyarakat berhak atas informasi yang jujur dan seimbang. Karena bila riset berubah menjadi alat pembenaran kebijakan, maka yang kita bangun bukanlah kepercayaan melainkan kecurigaan. Dan dari kecurigaan itu, sulit bagi siapa pun untuk membangun masa depan energi yang benar-benar berpihak pada rakyat,” ujarnya.

Selain soal independensi riset, publik juga mempertanyakan keberadaan dan keterbukaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi syarat utama setiap proyek energi berskala besar. Hingga kini, masyarakat Bangka Belitung belum pernah mendapatkan akses jelas terhadap dokumen AMDAL PLTN yang disebut-sebut sedang dikaji.

Padahal, AMDAL bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah proses ilmiah dan partisipatif yang wajib melibatkan masyarakat sejak tahap awal. Masyarakat berhak tahu potensi dampak terhadap lingkungan, ekosistem laut, kualitas air, hingga risiko sosial-ekonomi yang mungkin timbul.

Tanpa keterlibatan publik dan transparansi dokumen AMDAL, seluruh proses perencanaan proyek akan kehilangan legitimasi sosialnya.

Pemerintah dan pengembang seharusnya membuka ruang dialog, mempublikasikan hasil kajian, serta menampung masukan masyarakat secara terbuka. Karena energi bersih tidak akan berarti apa-apa jika cara memperolehnya justru mengabaikan prinsip keadilan lingkungan dan keterbukaan publik.(red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.