BFC, BANGKA BELITUNG,— Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa, Bangka Belitung, kini berada di ujung tanduk.
Setelah gelombang penolakan masyarakat, sikap kritis DPRD, dan temuan banyak kejanggalan izin, publik kini menuntut satu hal: hentikan proyek nuklir di Bangka Belitung sebelum menimbulkan bencana sosial dan ekologis.
Investigasi redaksi menemukan, PT Thorcon Power Indonesia belum memiliki dasar hukum yang sah untuk membangun fasilitas reaktor nuklir di Pulau Gelasa.
Perusahaan ini hanya mengantongi izin evaluasi awal, bukan izin pembangunan atau operasional PLTN sebagaimana diatur dalam:
• Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, dan
• Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2014 tentang Keselamatan Radiasi dan Keamanan Nuklir.
Lebih jauh lagi, lokasi yang ditetapkan—Pulau Gelasa, Bangka Tengah—merupakan zona tangkap nelayan dan kawasan pariwisata sesuai dengan Perda RZWP3K Babel No. 3 Tahun 2025.
Artinya, rencana pembangunan PLTN berpotensi melanggar tata ruang daerah dan bertentangan dengan peraturan pesisir yang melindungi pulau-pulau kecil.
“Belum ada AMDAL, belum ada izin lokasi, belum ada persetujuan tata ruang. Secara hukum, proyek ini tidak boleh jalan,” tegas Wakil Ketua DPRD Babel, Eddy Iskandar, dalam RDP, 10 November 2025 di Ruang Banmus DPRD Babel.
Aspek Ekonomi: Tidak Relevan, Tidak Menguntungkan Daerah
Dari sisi ekonomi, Babel sebenarnya tidak kekurangan energi listrik. Data PLN menunjukkan, pasokan listrik dari PLTU Air Anyir, Bangka Barat, dan Belitung masih surplus 30 persen.
Sementara biaya pembangunan PLTN diperkirakan mencapai triliunan rupiah—angka yang jelas tidak proporsional untuk daerah dengan kebutuhan energi kecil dan populasi terbatas.
Selain itu, model bisnis Thorcon dinilai tidak transparan. Hingga kini, tidak ada investor besar atau negara lain yang pernah mempercayakan pembangunan PLTN jenis “reaktor garam cair” (molten salt reactor) buatan mereka.
Secara global, teknologi ini masih dalam tahap uji coba laboratorium, belum pernah dioperasikan komersial di negara mana pun bahkan di Amerika Serikat tempat perusahaan ini berafiliasi.
“Kita tidak bisa jadikan Bangka Belitung sebagai kelinci percobaan teknologi yang belum terbukti aman,” ujar warga Beriga yang ikut mendengarkan RDP.
Aspek Sosial dan Adat: Bertentangan dengan Kehidupan Nelayan dan Budaya Laut
Pulau Gelasa bukan wilayah kosong.
Pulau kecil ini merupakan sumber kehidupan bagi ratusan nelayan dari Desa Batu Beriga dan sekitarnya.
Bagi masyarakat adat pesisir, laut bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga bagian dari identitas dan kepercayaan.
Rencana pembangunan PLTN dianggap mengancam adat istiadat pesisir yang menghormati laut sebagai “ibu kehidupan”.
Kekhawatiran masyarakat bukan tanpa alasan: satu kesalahan teknis pada reaktor bisa menghancurkan ekosistem laut Babel, menewaskan terumbu karang, dan menghilangkan mata pencaharian ribuan orang.
“Kami bukan menolak kemajuan, tapi menolak bahaya. Kalau laut kami rusak, kami mau makan apa?” ujar nelayan setempat, Rasyid (47).
Aspek Kepercayaan Publik: PT Thorcon Belum Teruji
Thorcon Power Indonesia selama ini mengklaim membawa teknologi nuklir generasi baru yang lebih aman, tapi belum ada satu pun bukti nyata keberhasilannya di dunia.
Lebih ironis lagi, tidak ada tenaga ahli nuklir independen Indonesia yang terlibat langsung dalam desain maupun uji keselamatan reaktor Thorcon.
Padahal, sesuai prinsip International Atomic Energy Agency (IAEA), pembangunan PLTN di negara berkembang harus berbasis transparansi, kesiapan SDM, dan bukti kinerja teknologi yang terbukti (proven technology) — tiga hal yang tidak dimiliki proyek ini.
Seruan Akhir: Stop PLTN di Babel, Pilih Energi Aman untuk Pulau Kecil
Dengan melihat kondisi hukum yang kabur, ancaman sosial dan ekologis yang besar, serta ketiadaan bukti teknologi yang aman, sudah jelas bahwa rencana PLTN di Bangka Belitung harus dihentikan sepenuhnya.
Bangka Belitung memiliki potensi energi lain yang lebih realistis: tenaga surya, angin, dan arus laut — energi bersih tanpa risiko radiasi.
Pulau kecil seperti Gelasa seharusnya dijaga, bukan dijadikan percobaan.
“PLTN bukan solusi, tapi ancaman. Pemerintah jangan gadaikan keselamatan rakyat hanya demi proyek prestisius,” ujar Direktur WALHI Babel Achmad Subhan Hafiz, yang sempat menceramahi Direktur Opersional dan Kepala SDM PT Thorcon Power Indonesia Dhita Karunia Ashari beserta jajaran saat RDP di DPRD Babel.
Sementara itu, dalam pernyataan Dhita Karunia Ashari kepada para wartawan usai RDP di Gedung DPRD Babel Senin (10/11/2025), pihak perusahaan mengakui kesalahan komunikasi dan minimnya sosialisasi.
“Kami akui ini jadi pembelajaran bagi kami. Ke depan, edukasi dan sosialisasi akan dilakukan lebih masif dan transparan kepada masyarakat,” ujar Dhita.
Hal ini diperkuat lagi dalam paparan di hadapan DPRD Babel dan berbagai perwakilan komponen masyarakat Babel, Dhita menyebut proyek tersebut memang masih dalam tahap kajian awal, belum pada tahap pembangunan fisik. Namun, kabar soal penetapan Pulau Gelasa sebagai lokasi “uji kelayakan” sudah terlanjur membuat masyarakat panik.
“Mungkin karena ini soal nuklir, masyarakat langsung berpikir risikonya tinggi. Padahal masih kajian. Tapi kami akui, kurangnya sosialisasi membuat isu ini berkembang cepat,” ujar Dhita.
Puncaknya, ketika gelombang penolakan datang dari berbagai pihak — mulai dari nelayan, tokoh masyarakat, hingga organisasi lingkungan. PT Torkon akhirnya menyatakan tidak akan memaksakan proyek ini jika warga tidak setuju.
“Kami menghormati pendapat masyarakat. Kami tidak mau ada gesekan. Jika memang ditolak, kami pikirkan kembali. Kami tidak akan lanjutkan,” ucap Dhita.
Langkah DPRD Babel yang meninjau ulang dan menghentikan sementara proyek ini adalah keputusan tepat. Namun penghentian ini harus bersifat permanen agar masyarakat tidak terus hidup dalam ketidakpastian.
Bangka Belitung tidak butuh reaktor nuklir ia butuh laut yang bersih, tanah yang subur, dan masa depan tanpa bahaya radiasi. (JB).






