Terungkap! PLTN Babel Diduga Cuma Kedok: Thorium dan Mineral Langka Siap Diangkut ke Luar Negeri

oleh

Oleh: Bangdoi Ahada

BFC, BANGKA BELITUNG — Di balik riuh isu rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW) di Bangka Belitung, tersembunyi jejak-jejak yang membuat publik tak bisa tidur tenang.
Dari kapasitas PLTN yang dinilai tidak ekonomis, ketidakhadiran negara dalam proses pembahasan, hingga sinyal kemungkinan modus pengeksporan mineral strategis.

Rangkaian fakta kecil ini jika dirangkai membentuk satu gambar besar yang mencemaskan.
Satu pertanyaan menggantung di udara Babel,
apakah PLTN ini benar-benar proyek energi, atau hanya kedok untuk mengeluarkan thorium dan mineral tanah jarang dari Bangka Belitung?

Bangka Belitung bukan sekadar provinsi kepulauan yang hidup dari timah.
Di balik tumpukan tailing—limbah penambangan—terdapat thorium, uranium, dan mineral tanah jarang (rare earth elements/REE) yang kini menjadi rebutan dunia.

Mineral-mineral ini adalah tulang punggung teknologi masa depan, untuk pembuatan chip, radar militer, misil, baterai perang, hingga energi nuklir generasi baru.

Namun anehnya, proyek energi nuklir yang disorot publik justru bukan datang dari negara, melainkan dari pihak swasta asing dan lokal yang begitu ngotot mengusung PLTN skala kecil.

Kapasitasnya hanya 250 MW—angka yang membuat siapapun yang waras energi akan mengernyitkan dahi.

“PLTN dengan kapasitas seperti itu tidak layak secara ekonomi,” ujar Alai, seorang teman, sembari mengirup kopi susu di salah satu warkop di Kota Pangkalpinang, Sabtu (29/11/2025).

“Kalau mau bikin PLTN, minimal 1.000 MW. Kalau cuma 250 MW, itu bukan proyek energi. Itu proyek uji coba,” tukasnya sembari mencibir.

Dan di Indonesia, daerah dengan surplus listrik 30% seperti Babel tentu bukan tempat wajar untuk “uji
Babel Bakal DIjadikan Laboratorium Uji Coba
Jika PLTN itu dibangun untuk Babel—jelas tak masuk akal, karena pasokan listrik daerah sudah lebih dari cukup.

Jika dibangun untuk Jawa atau Sumatera—lebih tidak masuk akal lagi.
Membangun jaringan transmisi bawah laut untuk menyalurkan listrik ke luar Babel akan memakan biaya triliunan rupiah, bahkan mungkin lebih mahal dari reaktornya sendiri.
Lalu, apa logika bisnisnya?

Ada atu kalimat yang tentu akan membuat setiap warga yang kini hidup di Bumi Serumpun Sebalai akan merinding bulu kuduknya.

“Kalau gagal, ya kan cuma dua juta orang yang terdampak. Skalanya kecil.”
Kalimat ini menyiratkan satu hal, Babel bukan dipilih karena kebutuhan energi—melainkan karena dianggap cukup kecil untuk menanggung risiko teknologi tinggi.
Modus PLTN untuk Legalkan Ekspor Thorium
Dari sudut pandang investigatif, pola yang muncul ini kian jelas:

1. Umumkan proyek PLTN di Babel sebagai proyek masa depan, durasi 5–6 tahun.
2. Ajukan izin mengirim “bahan baku thorium dan REE” ke luar negeri, dengan alasan riset bahan bakar PLTN.
3. “Uji coba” itu bisa membutuhkan bahan baku berton-ton.
4. Bahan berharga itu dikirim ke negara yang membutuhkan pasokan thorium—rumor menyebut AS sebagai peminat utama.
5. Setelah bahan baku keluar, proyek PLTN dapat ditunda, dikurangi, atau dibatalkan dengan alasan teknis ataupun ekonomis.
Akhirnya warga tak mendapatkan listrik tambahan dan daerah tak mendapatkan industri baru.

Yang tersisa hanya mineral strategis yang telah berpindah dari Babel ke Amerika.
Modus seperti ini bukan hal baru. Pernah terjadi saat fasilitas pengolahan dipakai sebagai kedok ekspor nikel, emas, hingga bauksit.

Kini, pola yang sama diperebutkan dalam komoditas kelas premium yakni thorium.
Negara Tak Pernah Hadir, Kok Pengusaha Swasta Begitu Ngotot

Dalam proyek besar yang menyangkut teknologi nuklir, biasanya negara akan berdiri paling depan adalah Kementerian ESDM, Bapeten, Kemenko Marves, BRIN, BUMN energi atau minimal Gubernur dan DPRD.
Namun pada isu PLTN Babel ini, negara sepertinya absen. Tidak ada dokumen resmi bahwa PLTN ini merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional.

Tidak ada blueprint nasional yang menunjuk Babel sebagai lokasi reaktor.
Tidak ada pernyataan publik dari pemerintah pusat bahwa proyek ini adalah program transisi energi.

Sebaliknya, justru pihak korporasi dan tokoh tertentu yang paling aktif mendorongnya.
Kekosongan peran negara dalam isu sebesar ini menimbulkan satu tanda tanya besar:
Kalau ini proyek strategis nasional, kenapa negara diam?

Dan bila ini bukan proyek negara, mengapa investor asing begitu agresif?
Jawabannya, Ini Hanya Modus
Babel menyimpan sesuatu yang lebih berharga dari listrik, yakni thorium, uranium, dan REE.

Persaingan global dalam energi nuklir dan persenjataan membuat mineral ini menjadi incaran negara-negara besar.
Cina menguasai 90% pasokan REE dunia—Amerika butuh alternatif. Jepang butuh sumber cadangan. Eropa mencari pasokan aman.

Indonesia, terutama Babel, menjadi salah satu kandidat terkuat yang diperebutkan.
Dan PLTN skala kecil dengan narasi “riset dan transisi energi bersih” adalah cara paling halus untuk membuka pintu pergerakan mineral ini.

Bukan dari penambangan langsung. Bukan dari izin ekspor terbuka. Tapi dari jalur izin bahan baku untuk reaktor.
Warga Babel Berhak Curiga Dong?

Dalam kacamata investigatif, tanda-tanda modus itu tampak jelas, antara lain:
1. Kapasitas PLTN tidak ekonomis.
2, Tidak ada urgensi energi.
3. Negara tidak hadir.
4. Swasta yang paling ngotot.
5. Mineral strategis melimpah justru di daerah yang dipilih.
6. Potensi izin ekspor uji laboratorium.
7. Jejak geopolitik negara besar di isu ini.
Semua benang merah itu mengarah pada satu kebutuhan mendesak yakni kita butuh transparansi dari pemerintah pusat.

Bangka Belitung bukan kolam percobaan teknologi nuklir. Bukan laboratorium hidup untuk eksperimen asing. Dan bukan gudang mineral gratis untuk negara lain.

Sampai negara memberi jawaban resmi yang dapat diverifikasi, publik Babel hanya punya satu senjata: kecurigaan yang sehat.
Karena di balik proyek energi yang tak masuk akal, seringkali tersembunyi agenda yang jauh lebih besar dari yang bisa dilihat mata.
Bangka Belitung menuntut jawaban. Bukan wacana. Bukan janji. Tetapi jawaban yang jujur dan terang benderang. (red).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.