BFC, PANGKALPINANG — Setahun lebih sudah, bangkai kapal KM Lintas Armada Nusantara dibiarkan terendam di alur pelayaran Sungai Baturusa, Pangkal balam, Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Sebagian lambung besinya masih tampak di permukaan, miring di tengah jalur yang setiap hari dilalui kapal niaga dan ratusan perahu nelayan.
Di bawah panas matahari dan arus Sungai Baturusa, besi karat itu kini jadi penanda kegagalan: kegagalan pengawasan, tanggung jawab, dan keselamatan di perairan Sungai Baturusa Bangka Belitung.
Jejak Tenggelam yang Tak Pernah Diangkat
Pada Oktober 2024 lalu, sempat ada harapan. Sebuah perusahaan salvage, PT Armandi Pranaupaya, didatangkan dari luar daerah untuk melakukan pengapungan dan penggeseran bangkai kapal. Pekerja bawah air profesional dikerahkan, tali baja dan ponton siap di lokasi.
Namun, pekerjaan itu tak pernah rampung. Hingga izin kerja berakhir, bangkai kapal tetap di tempatnya — sebagian tenggelam, sebagian lain menjadi rintangan raksasa di tengah alur pelayaran.
Sungai yang Padat, Jalur yang Terancam
Sungai Baturusa bukan sekadar perairan. Ia adalah urat nadi ekonomi dan kehidupan warga pesisir Pangkalpinang.
Dari muara hingga ke laut, jalur ini dilalui kapal dagang dan kapal motor nelayan yang membawa hasil laut ke tempat pelelangan ikan.
“Asal tahu saja, setiap hari ratusan perahu nelayan lewat sini. Ini satu-satunya jalan mereka keluar masuk laut,” kata Asnam,
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) DPC Pangkalpinang, seperti dikutif dari buser24jam.com.
Menurut Asnam, posisi bangkai kapal tepat di jalur utama pelayaran. Jika air surut atau arus deras, kapal kecil bisa terseret ke arah besi-besi runcing bangkai itu.
“Kalau malam, bahaya sekali. Banyak perahu nelayan yang tidak punya lampu sorot, radio, atau radar. Sekali salah arah, bisa tabrakan,” ujarnya
Antara Bahaya dan Harapan
Namun ironisnya, di balik ancaman itu, bangkai kapal juga membawa kehidupan baru.
Bangkai yang tak diangkat itu pelan-pelan berubah fungsi — dari ancaman navigasi menjadi “terumbu buatan” bagi ikan-ikan kecil.
Tapi bagi nelayan yang harus melintas setiap hari, keberadaan bangkai tetap menegangkan.
“Kami berharap ada rambu navigasi dipasang. Jangan dibiarkan begini terus,” ujar Firdaus, salah satu nelayan Pangkalpinang.
Birokrasi yang Lamban
Di meja birokrasi, kasus KM Lintas Armada Nusantara tampak hanya seperti satu berkas yang tersisa di tumpukan surat peringatan. KSOP sudah melayangkan teguran tertulis hingga tiga kali, terakhir pada pertengahan Oktober 2025. Namun, tak ada tanda-tanda perbaikan atau tanggung jawab dari pihak perusahaan salvage.
“Bangkai kapal yang dibiarkan di alur pelayaran adalah pelanggaran serius terhadap keselamatan pelayaran,” ujar salah satu pejabat pelabuhan yang enggan disebut namanya.
“Harusnya segera diangkat atau minimal diberi tanda navigasi jelas.”
Sungai yang Tak Lagi Aman
Kini, Sungai Baturusa menjadi potret paradoks: perairan yang dulu aman bagi nelayan, kini berubah jadi jalur penuh risiko. Kapal kayu kecil bersisian dengan besi berkarat, di antara arus sungai dan kebijakan yang tak tuntas.
“Kalau dibiarkan, tinggal tunggu waktu saja sampai ada kecelakaan,” timpal Roman, nelayan lainnya menutup percakapan sore itu di pangkalan nelayan Ketapang.
Sampai berita ini ditulis, bangkai KM Lintas Armada Nusantara masih melintang di tengah alur. Arus tetap mengalir, nelayan tetap melaut dan pemerintah, tampaknya, masih menunggu sesuatu yang tak pasti.
Sementara pihak pemilik kapal, tampaknya diam membisu membiarkan kapal menjadi bangkai abadi di Sungai Baturusa Pangkal balam Bangka Belitung. (red).







