Oleh: Bangdoi Ahada
OPINI, BABELFAKTUAL.COM – Jalan Lintas Timur di Pulau Bangka kini bukan lagi sekadar jalur penghubung antara Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka.
Di kiri-kanannya, kawasan yang dahulu hijau dan rimbun kini berubah rupa: sebagian menjadi tambak udang, sebagian lagi kebun sawit, sebagian lagi tempat wisata, bahkan kini sudah berdiri permukiman permanen.
Namun yang lebih mengkhawatirkan, di tengah kawasan yang sebagian besar secara hukum berstatus hutan lindung dan hutan produksi itu, kini juga bermunculan aktivitas tambang timah.
Aktivitas tambang timah ini banyak ditemukan di titik-titik sepanjang lintas timur, terutama di area bekas hutan produksi yang telah terbuka.
Area yang sudah sempat ditanami ribuan pohon yang bertajuk reklamasi, saat ini juga sudah hilang.
Dulu di sebagian area di sepanjang jalan lintas timur, Forkompimda dan para pejabat Kabupaten maupun Provinsi bersemangat menanam pohon yang didoakan sebagai tanaman reklamasi, kini tak berbekas.
Hanya sebagian saja yang berdiri, tapi sebagain besar pohon yang ditanam yang diselingi tawa canda pada pejabat dan Forkopimda Babel tersebut kini telah diperkosa oleh mesin-mesin tambang timah illegal.
Mesin dompeng dan ekskavator bekerja siang malam, meninggalkan kubangan-kubangan besar yang mengancam tata air dan ekosistem sekitar.
Dahulu di sini masih hijau, tapi sekarang sudah jadi tambang.
Meski begitu kita dipaksa merestui tambang illegal tersebut, maklum, karena sebagian penambang adalah warga lokal yang mencari nafkah harian.
Kawasan Hutan yang Berubah Fungsi
Berdasarkan data tata guna lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), wilayah sepanjang lintas timur—mulai dari Kecamatan Riau Silip hingga ke Sungailiat—masih masuk dalam peta kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas.
Artinya, setiap bentuk kegiatan ekonomi seperti tambang, perkebunan, atau bangunan, harus memiliki izin pelepasan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Namun sayangnya, sebagian besar kegiatan di lapangan tidak memiliki izin tersebut.
Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pun mengakui adanya tumpang tindih antara izin usaha, tata ruang, dan status kehutanan.
Memang banyak kawasan yang secara legal masih hutan, tapi di lapangan sudah berubah fungsi bertahun-tahun.
Tambang di Kawasan Lindung: Masalah yang Klasik
Aktivitas tambang timah di kawasan hutan bukan hal baru di Bangka Belitung.
Namun, semakin dekatnya operasi tambang ke area jalan lintas dan kawasan wisata menambah serius persoalan ini. Selain mengancam keselamatan pengguna jalan karena akan longsor dan lubang bekas tambang, aktivitas tambang ilegal juga menyebabkan pencemaran air dan kerusakan lahan produktif.
Seharusnya kita tahu, bahwa tambang di kawasan hutan itu melanggar undang-undang dan mengganggu fungsi ekologis yang seharusnya dijaga. Tapi karena lemahnya pengawasan, aktivitasnya terus berlangsung.
Menata Keterlanjuran, Bukan Melegalkan Pelanggaran
Pemerintah pusat melalui KLHK saat ini menjalankan program penyelesaian keterlanjuran usaha dan bangunan di kawasan hutan, sebagai bagian dari reforma agraria dan kebijakan TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria).
Program ini memberikan kesempatan bagi pelaku usaha, masyarakat, maupun pemerintah daerah untuk mengajukan legalisasi terbatas terhadap lahan yang terlanjur dimanfaatkan sebelum batas waktu tertentu, dengan syarat tidak berada di hutan lindung dan tidak merusak fungsi ekologi utama.
Namun di Bangka Belitung, banyak kegiatan terutama tambang timah dan kebun sawi yang berdiri setelah kebijakan ini diberlakukan.
Artinya, menurut regulasi, tidak bisa lagi diselesaikan lewat mekanisme keterlanjuran, tetapi wajib ditertibkan dan direhabilitasi.
Kalau semua dibiarkan atas nama keterlanjuran, maka habis sudah kawasan hutan kita.
Program pemerintah pusat bukan untuk melegalkan pelanggaran baru, melainkan untuk menata kondisi lama agar tidak berlarut.
Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bangka Belitung dan Kabupaten Bangka seharusnya bertindak tegas dan berani menertibkan pelaku usaha dan tambang di kawasan hutan, sesuai kewenangan dan mandat undang-undang. Penegakan hukum juga harus melibatkan Gakkum KLHK serta pemerintah daerah dalam operasi gabungan.
Pemerintah daerah harus berani menertibkan usaha yang tidak punya dasar izin kehutanan. Tidak bisa hanya menunggu pusat.
Selain penindakan, dinas terkait juga diharapkan mendorong rehabilitasi dan reklamasi lahan rusak, serta menata kembali batas kawasan hutan agar tidak terus terjadi klaim tumpang tindih.
Bagaimana Solusinya?
Solusi terbaik adalah penataan ulang kawasan dan penerapan hukum yang konsisten. Pemerintah harus memperjelas batas kawasan, mengembalikan fungsi hutan lindung, serta membuka ruang legal bagi masyarakat kecil yang benar-benar bergantung pada lahan untuk hidup.
Bagi pelaku usaha besar baik itu perkebunan, tempat wisata dan tambang komersial yang beroperasi tanpa izin di sepanjang Jalan Lintas Timur Pulau Bangka, maka sanksi pidana dan denda sesuai UU Nomor 18 Tahun 2013 wajib diterapkan, termasuk kewajiban rehabilitasi lingkungan dan pemulihan kawasan.
Lintas Timur Bangka kini menjadi potret kecil dari dilema besar di Indonesia: bagaimana menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan kelestarian hutan.
Jika hutan lindung terus dikorbankan untuk tambang dan sawit, maka bencana ekologis tinggal menunggu waktu.
Kalau dulu kita bicara tambang di pedalaman, sekarang sudah di pinggir jalan. Ini alarm keras bagi kita semua. (red).







