Oleh: Bangdoi Ahada
OPINI, — Bayangan reaktor nuklir kembali menepi di pesisir Pulau Timah Bangka Belitung.Rasanya seperti déjàvu ingatan lama yang berusaha kita kubur, tapi kini datang lagi dengan pakaian baru dan narasi memabokan: jargon “energi bersih masa depan”.Sudah lebih dari satu dekade sejak wacana Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama kali mampir ke Babel.
Kala itu, di masa Gubernur Eko Maulana Ali, ide besar ini sempat bergaung, lalu pelan-pelan tenggelam bukan karena penolakan membabi buta, tapi karena kesadaran bahwa Kepulauan Bangka Belitung memang ini belum siap untuk bermain dengan nuklir. Dan jujur saja, sampai hari ini pun belum.
Ketika Janji Aman Tak Mampu Merayu Rakyat
Kini, para fansclub pendukung PLTN datang dengan istilah baru: Small Modular Reactor (SMR) katanya lebih kecil, lebih efisien, lebih aman.
Kata-kata yang manis, seperti brosur investasi di meja seminar.
Tapi di baliknya, ada satu hal yang tak berubah: risiko dan siap menghabisi semua makhluk hidup di sekitar reaktor.
Teknologi nuklir bukan sekadar soal alat atau reaktor. Ia tentang sistem — dan sistem itu melibatkan manusia, birokrasi, tata kelola, serta budaya keselamatan yang ketat.
Negara-negara maju mampu menjaga PLTN mereka karena mereka punya disiplin dan transparansi yang nyaris sempurna.
Kita? Masih berjuang menertibkan tambang timah ilegal di hutan lindung, penyelundupan, dan akal-akalan tambang illegal.
Kalau tambang saja belum bisa diawasi dengan bersih, bagaimana mungkin kita mengawasi radiasi?
Bangka Belitung, Bukan Laboratorium Nuklir
Mari semua pihak berani jujur. Bangka Belitung bukanlah negara dengan laboratorium raksasa dan ribuan teknisi nuklir berpengalaman.
Ini provinsi kecil dengan ekonomi yang masih bertumpu pada tambang, pariwisata, dan laut.
Setiap inci tanah di sini bernilai hidup bagi nelayan dan petani pesisir.
Bayangkan jika nanti limbah radioaktif bocor sekecil apa pun ke laut, ke tambak, ke sawah. Siapa yang akan menanggung akibatnya? Siapa yang akan meyakinkan anak-anak nelayan bahwa ikan yang mereka makan masih aman?
Pelajaran dari Gubernur Eko Maulana Ali
Mendiang Gubernur Eko Maulana Ali pernah menolak tergesa-gesa.
Ia tidak anti-nuklir, tapi tahu bahwa kebijakan besar tidak boleh dijalankan dengan rasa ingin cepat jadi.
Ia tahu Babel bukan tempat untuk uji coba teknologi yang belum teruji di Indonesia.
Keputusan menunda itu bukan bentuk ketakutan, melainkan bentuk kebijaksanaan.
Dan mungkin, itulah hal yang paling hilang dalam politik energi hari ini — kebijaksanaan untuk menunggu sampai benar-benar siap.
Kita butuh keberanian seorang Gubernur maupun Bupati untuk berkata: Belum Saatnya.
Tetapi yang kita dapatkan sekarang, tidak ada pemimpin yang bersuara. Mereka masih sibuk gunting pita kesana kemari. Tak menggubris apa yang akan terjadi dengan masyarakat yang saat ini mereka nahkodai.
PLTN bukan musuh. Tapi menempatkannya di Babel hari ini adalah keputusan yang terlalu berisiko.
Kita belum punya sistem pengawasan yang steril, belum punya tenaga ahli yang cukup, belum punya jaminan transparansi publik.
Jangankan untuk di Bangka Belitung, di dunia pun belum ada yang telah menjamin bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir berbahan Thorium telah aman dan mampu mensejahterahkan masyarakat sekitar PLTN.
Lalu mengapa berani membangun disini? Apakah karena rakayat Babel yang masih sedikit? Jika terjadi trouble, paling-paling yang menjadi korban tidak banyak?
Ini yang seharusnya menjadi kebijakan para pemimpin di negeri yang disebut SERUMPUN SEBALAI ini.
Kita jangan terlena oleh rayuan dan segepok amunisi dari pra pencandu pembangunan PLTN. Mereka bisa saja karena ingin menggulirkan cuan, namun resiko yang menanggung adalah rakyat Bangka Belitung.
Buktinya sampai saat ini, tidak ada penjelasan ataupun bukti bahwa sudah ada PLTN berbasis Thorium yang telah berdiri megah dan mampu memberikan rasa aman, nyaman dan kesejahteraan.
Lalu mengapa tiba-tiba ngotot mau membangun di Babel?
Jangan jadikan kami kelinci percobaan: Jika gagal, yang rusak adalah adalah masyarakat Babel yang memang jumlahnya masih sedikit, tetapi jika berhasil maka yang menikmatinya bisa se Nusantara bahkan bisa menjadi acuan untuk negara Adidaya seperti Amerika.
Mengapa perusahaan Amerika –yang ngotot bangun di Pulau Gelasa– tidak mau ujicoba dulu di Amerika? Nanti setelah berhasil dan aman baru diterapkan disini, dengan melatih SDM orang Babel untuk menjadi pengawal PLTN di Babel?
Janjinya Energi Bersih?
Kalau energi bersih memang tujuan utama, mengapa bukan tenaga surya, angin, atau arus laut yang dikembangkan dulu?
Bukankah itu lebih masuk akal dan lebih aman untuk pulau yang dikelilingi laut?
Perlu kamu-kamu para fans PLTN ketahui ya, Bangka Belitung tak butuh simbol kebanggaan nasional yang mahal.
Yang dibutuhkan justru adalah kepastian: bahwa setiap proyek besar benar-benar berpihak pada rakyat, bukan pada ambisi segelintir elite yang ingin meninggalkan warisan megah tetapi membuat rakyat ketakutan sepanjang masa.
Karena bila PLTN ini benar-benar dibangun tanpa kesiapan sosial dan sistemik, maka Babel bukan sedang melangkah ke masa depan — tapi sedang berjalan mundur ke masa lalu yang sudah pernah kita tolak.
Dan di antara riuh tambang tua dan ombak pesisir, pertanyaan itu kembali menggema:
“Apakah kita sedang menuju kemajuan, atau sekadar mengulang kesalahan yang sama dengan nama baru yang lebih keren?”. (JB).






