BFC, PANGKALPINANG– Rapat dengar pendapat yang membahas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa dan usulan “zero tambang” dalam Perda RZWP3K Provinsi Bangka Belitung, berlangsung panas di Ruang Banmus DPRD Babel, Senin (10/11/2025).
Ahmad Subhan Hafiz, Direktur Eksekutif Walhi Babel, dengan tegas menyatakan penolakan masyarakat terhadap proyek PLTN ini.
“Ini adalah simbol bahwa masyarakat Bangka Belitung menolak PLTN, terutama di Pulau Gelasa,” ujarnya.
Subhan menyoroti ketidaksesuaian lokasi PLTN dengan pola ruang yang telah ditetapkan.
“Dalam KLHS, lokasi yang diusulkan berada di zona konservasi dan pariwisata. Masyarakat mayoritas menolak, dan klaim dukungan 73% itu tidak masuk akal,” tegasnya.
Lebih lanjut, Subhan mempertanyakan urgensi pembangunan PLTN mengingat potensi energi terbarukan yang besar di Babel.
“Kita punya potensi energi surya sekitar 2.810 megawatt dan energi angin sebesar 1.787 megawatt. Mengapa harus memilih PLTN yang berbasis uranium?” tanyanya retoris.
Ia juga menyoroti perubahan wacana dari penggunaan thorium ke uranium sebagai bentuk kebohongan publik.
Terkait usulan “zero tambang”, Hafiz menekankan perlunya perubahan tata ruang yang memprioritaskan zona tangkap nelayan.
“Rekomendasi untuk mencabut izin usaha penambangan PT Timah di pesisir Batu Beriga dan ekosistem esensial lainnya harus segera direalisasikan,” katanya.
Jorghi, pemuda Desa Baru Beriga, menyampaikan aspirasi masyarakat terkait dampak PLTN dan aktivitas penambangan PT Timah.
“PLTN ini proyek berisiko tinggi dan bertentangan dengan Perda. Kawasan Gelasa adalah tempat nelayan mencari ikan dan pusat perikanan,” ungkapnya.
Menanggapi perpanjangan izin usaha penambangan (IUP) PT Timah, Jorghi menyatakan kekecewaannya.
“Rekomendasi dari pemerintah daerah sudah ada, tetapi IUP malah diperpanjang. Jika mereka ngotot, kami juga akan ngotot menolak,” tegasnya.
Ia juga menyoroti inkonsistensi PT Torcon dalam menyampaikan informasi terkait PLTN.
“Dulu bicara thorium, sekarang uranium. Ini tidak jelas dan tidak objektif,” pungkasnya.
Rapat dengar pendapat ini menjadi momentum penting bagi masyarakat Babel untuk menyuarakan penolakan terhadap proyek-proyek yang merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup mereka.(red).








