BFC, BANGKA BELITUNG — Polemik pembangunan PLTN Thorcon kembali menghangat setelah beredar pemberitaan yang terkesan menyederhanakan persoalan perizinan. Namun hasil penelusuran dan konfirmasi terhadap sejumlah pihak justru menunjukkan kenyataan yang berlawanan: proyek nuklir ini masih jauh dari kata layak, penuh klaim sepihak, dan sarat manipulasi opini publik.
Thorcon mempromosikan bahwa mereka telah mengantongi “persetujuan dokumen PET–SMET”, seakan-akan itu adalah lampu hijau menuju konstruksi PLTN. Faktanya, dokumen itu baru tahap paling dasar dari proses panjang perizinan nuklir Indonesia.
Tahap yang lebih berat seperti, analisis keselamatan geologi & seismik, kajian hidrometeorologi, izin konstruksi, izin komisioning, izin operasional dan kesiapan mitigasi darurat belum satu pun selesai.
Jagonya Thorcon menggiring opini publik seakan PLTN “tinggal dibangun” bukan hanya tidak akurat, tetapi juga berpotensi menipu masyarakat yang tidak memahami detail regulasi nuklir.
Salah satu narasi yang paling sering digunakan untuk mendorong penerimaan PLTN Thorcon adalah klaim bahwa 73% persen masyarakat setuju. Namun temuan lapangan menunjukkan tidak ada lembaga independen, akademisi, atau institusi kredibel yang pernah mengonfirmasi survei tersebut.
WALHI secara terang-terangan menyebut klaim itu “tidak masuk akal dan menyesatkan”, bahkan menuding BAPETEN lengah mengawasi narasi yang dibangun perusahaan.
Survei tanpa metodologi transparan, tanpa publikasi ilmiah dan justru malah di fasilitasi Thorcon yang notabene pemilik kepentingan, semestinya tidak layak menjadi dasar kebijakan, apalagi untuk proyek nuklir.
Kemudian sejumlah dokumen DPRD dan pernyataan pejabat daerah menunjukkan bahwa lokasi yang disebut-sebut sebagai tapak PLTN berada di wilayah konservasi laut dengan status perlindungan ketat. Jika benar, maka sejak awal PLTN sudah melanggar tata ruang dan aturan lingkungan.
Legislator Babel, Rina Tarol, bahkan menegaskan bahwa pulau yang didorong untuk dijadikan tapak PLTN adalah kawasan yang wajib dilindungi dan tidak boleh disentuh pembangunan industri berat apa pun.
Ironisnya, klaim ini tidak pernah dibantah secara transparan oleh Thorcon maupun pihak pembela mereka, sebuah kejanggalan yang semakin memperkuat dugaan bahwa lokasi proyek memang bermasalah.
Dalam berbagai kesempatan, pendukung Thorcon menggunakan statistik global untuk menyebut bahwa energi nuklir aman. Namun pendekatan ini dinilai mengecoh, karena risiko nuklir tidak bisa dilepaskan dari faktor lokasi.
Indonesia berada di kawasan cincin api pasifik (ring of fire), wilayah rawan gempa dan tsunami. Tanpa dokumen keselamatan yang lengkap yang hingga kini belum dipublikasikan, klaim keamanan Thorcon tidak lebih dari janji manis tanpa bukti teknis.
Pelajaran Fukushima menunjukkan bahwa satu kesalahan kecil pada mitigasi bencana bisa menghancurkan lingkungan, ekonomi, dan kesehatan masyarakat dalam hitungan jam.
Pemeriksaan lebih jauh menunjukkan Thorcon belum membuka secara publik soal kajian AMDAL, analisis keselamatan rinci, analisis risiko bencana, peta dampak radiasi, rencana evakuasi hingga radius 20–30 km, skema pengelolaan limbah radioaktif dan evaluasi kelayakan ekonomi.
Ironisnya, tanpa membuka dokumen-dokumen kunci tersebut, sejumlah pihak justru gencar membangun narasi positif, seolah semua beres dan PLTN adalah solusi tunggal energi Babel.
Praktik seperti ini lazim ditemukan pada proyek-proyek yang masih rapuh secara teknis namun agresif dalam komunikasi publik.
Berdasarkan berbagai temuan, investigasi ini menyimpulkan bahwa perizinan PLTN Thorcon belum memasuki tahap kritis, bahkan masih jauh dari lengkap, mulai survei tidak kredibel dan tidak netral, Lokasi PLTN terindikasi pelanggaran tata ruang dan konservasi, risiko nuklir disederhanakan tanpa data teknis yang memadai, transparansi sangat rendah soal dokumen lingkungan dan keselamatan, sehingga wajar publik curiga siapa yang sebenarnya diuntungkan dari gencarnya narasi positif PLTN Thorcon?
Sebab yang pasti, jika pembangunan ini dipaksakan tanpa kajian jernih, maka masyarakat dan lingkungan Bangka Belitung lah yang akan menanggung akibat terbesar bukan perusahaan atau para promotor proyek.(red).








