Editor: Bangdoi Ahada
BFC, BANGKA– Suasana di ruang rapat DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Senin (10/11/2025) itu terasa hangat, bukan oleh pendingin ruangan yang mati, melainkan oleh panasnya pertanyaan dan keheranan para wakil rakyat terhadap PT Thorcon Power Indonesia (TPI).
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang semula dijadwalkan sebagai forum klarifikasi teknis, justru berubah menjadi “kuliah terbuka” tentang bagaimana seharusnya proyek energi nuklir dijalankan secara transparan, bertanggung jawab, dan beretika.
Di ujung rapat, satu kesimpulan bulat mengemuka: rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pulau Gelasa harus dihentikan.
Sejak awal, publik di Bangka Belitung sudah mencium aroma janggal dari proyek ini.
PT Thorcon Power Indonesia, adalah perusahaan yang digadang-gadang membawa teknologi reaktor modular canggih, ternyata tidak melibatkan pemerintah daerah secara resmi.
Baik Pemprov Bangka Belitung maupun Pemkab Bangka Tengah, lokasi rencana proyek, mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan, studi, atau sosialisasi yang transparan.
Yang lebih membingungkan, perusahaan ini terus melangkah seolah mendapat lampu hijau dari pemerintah pusat, padahal belum ada dasar hukum dan izin lingkungan yang jelas di tingkat daerah.
Akibatnya, keresahan tumbuh di masyarakat. Desa-desa pesisir mulai gelisah, aktivis lingkungan turun tangan, dan ruang publik Babel kembali riuh oleh perdebatan lama: Apakah energi nuklir benar-benar aman untuk pulau kecil seperti Gelasa?
PLTN Uji Coba?
Kecurigaan masyarakat makin kuat setelah paparan Direktur Operasional dan Kepala SDM PT Thorcon Power Indonesia, Dhita Karunia Ashari, di hadapan DPRD di Gedung DPRD Babel, Senin (10/11/2025).
Ia menyebut bahwa PLTN yang akan dibangun memiliki kapasitas hanya 250 MW angka yang menimbulkan tanda tanya besar.
“Kalau ini untuk memenuhi kebutuhan listrik Babel, kita sudah kelebihan 30 persen energi listrik,” ujar Direktur WALHI Babel, Ahmad Subhan Hafiz, dalam rapat tersebut.
“Tapi kalau untuk Pulau Sumatera atau Jawa, kapasitas 250 MW itu terlalu kecil. Jadi, ini bukan proyek produksi energi, tapi proyek uji coba.” tukasnya.
Logika itu sederhana tapi tajam. Sebuah PLTN berskala 250 MW tidak punya nilai ekonomis besar untuk distribusi energi antar pulau.
Maka, Babel diduga hanya dijadikan laboratorium percobaan teknologi nuklir, tempat di mana kesuksesan akan menguntungkan investor, tapi kegagalan akan ditanggung seluruh rakyat Babel.
Negeri yang Tak Mau Jadi Korban
Bangka Belitung bukan wilayah luas. Penduduknya tak sampai dua juta jiwa.
Namun bagi PT Thorcon, angka kecil itu mungkin dianggap “risiko yang bisa diterima” jika sesuatu yang buruk terjadi.
Di sinilah hati nurani masyarakat berbicara. Rakyat Serumpun Sebalai tidak mau menjadi “kelinci percobaan” bagi teknologi yang bahkan di negara maju pun masih diperdebatkan. Hingga kini, belum ada satu pun PLTN di dunia yang benar-benar bisa disebut aman, nyaman, dan menyejahterakan rakyatnya.
Bagi warga pesisir, kata “nuklir” bukan hanya tentang listrik. Ia tentang ancaman masa depan, tentang laut yang bisa terkontaminasi, tentang tanah leluhur yang bisa jadi zona terlarang.
DPRD dan Masyarakat Satu Suara
Dalam forum RDP itu, beberapa anggota DPRD Babel bahkan secara terbuka menyatakan keheranan mereka terhadap cara komunikasi PT Thorcon yang “tidak terbuka, tidak jujur, dan tidak sensitif terhadap keresahan publik.” Mereka sepakat, Babel harus menarik rem darurat.
“Kita tidak ingin masyarakat terus dibayangi proyek yang belum jelas dasar hukumnya, apalagi yang bisa mengancam keselamatan lingkungan dan generasi mendatang,” kata salah satu anggota DPRD.
Sinyal politik ini jelas: Babel berkata cukup, rencana PLTN Pulau Gelasa jangan diteruskan.
Sayonara, PLTN Babel
Kini, kalimat “Sayonara PLTN Gelasa” menjadi simbol perlawanan masyarakat Bangka Belitung terhadap proyek yang dianggap penuh misteri dan risiko.
Slogan itu bergema di media sosial, dibicarakan di warung kopi, dan menjadi bahan diskusi di berbagai komunitas dan organisasi.
Masyarakat Babel sadar bahwa mereka sedang melawan bukan hanya sebuah perusahaan, tapi konsep pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat dan keselamatan lingkungan.
Sayonara PLTN bukan berarti menolak kemajuan, tetapi menolak pembangunan yang mengabaikan kemanusiaan.
Bangka Belitung memilih untuk tetap menjadi negeri yang tenang, hijau, dan hidup dari laut serta tambangnya sendiritanpa reaktor yang mengintai di balik horizon.
Sayonara PLTN Gelasa, karena keselamatan rakyat tidak boleh dijadikan eksperimen.
Dalam pernyataan resmi yang disampaikan perwakilan PT Thorcon Indonesia, pihak perusahaan mengakui kesalahan komunikasi dan minimnya sosialisasi.
“Kami akui ini jadi pembelajaran bagi kami. Ke depan, edukasi dan sosialisasi akan dilakukan lebih masif dan transparan kepada masyarakat,” ujar perwakilan PT Thorcon dalam wawancara, Senin (10/11/2025).
Warga Menolak, Proyek Ditinjau Ulang
Dalam paparan di hadapan DPRD Babel dan berbagai perwakilan komponen masyarakat Babel, perusahaan menyebut proyek tersebut masih dalam tahap kajian awal, belum pada tahap pembangunan fisik. Namun, kabar soal penetapan Pulau Gelasa sebagai lokasi “uji kelayakan” sudah terlanjur membuat masyarakat panik.
“Mungkin karena ini soal nuklir, masyarakat langsung berpikir risikonya tinggi. Padahal masih kajian. Tapi kami akui, kurangnya sosialisasi membuat isu ini berkembang cepat,” ujar Dirop dan Kepala SDM PT TPI Dhita Karunia Ashari.
Puncaknya, ketika gelombang penolakan datang dari berbagai pihak — mulai dari nelayan, tokoh masyarakat, hingga organisasi lingkungan. PT Torkon akhirnya menyatakan tidak akan memaksakan proyek ini jika warga tidak setuju.
“Kami menghormati pendapat masyarakat. Kami tidak mau ada gesekan. Jika memang ditolak, kami pikirkan kembali. Kami tidak akan lanjutkan,” ucap Dhita. (JB).








