Oleh: Bangdoi Ahada
BFC, BANGKA BELITUNG— Di balik wacana megah tentang pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kepulauan Bangka Belitung, tersimpan sebuah ancaman yang tak kasatmata namun nyata, yakni bahaya radiasi yang bisa mengubah lanskap kehidupan masyarakat, ekosistem laut, hingga masa depan negeri kepulauan ini selama ribuan tahun.
Para pendukung PLTN kerap menyebut nuklir sebagai energi bersih dan murah.
Namun sejarah dunia menyimpan satu pelajaran penting, sekecil apa pun kelalaian dalam mengelola reaktor dapat berubah menjadi bencana yang mustahil diperbaiki. Kasus Chernobyl menjadi bukti abadi.
Secara geografis, kepulauan Bangka Belitung bukanlah wilayah dengan daratan luas dan populasi tersebar.
Sebaliknya, ini adalah gugusan pulau kecil dengan radius hunian yang berdekatan, kawasan pesisir padat, dan ekosistem laut yang menjadi nadi ekonomi masyarakat.
Dalam konteks ini, pembangunan PLTN bukan hanya tentang keamanan teknologi. Tetapi bagaimana jika terjadi gangguan sistem pendingin? atau seandainya terjadi kesalahan operator?
Pertanyaan lainnya, apa yang terjadi jika evakuasi darurat harus dilakukan di daerah kepulauan?
Pertanyaan-pertanyaan itu bukan paranoid, tapi itu adalah realitas teknis yang harus dihadapi.
PLTN oh PLTN
Kisah Tragis Chernobyl Jadi Pelajaran Berharga
Seperti dikutif dari cnbcindonesia.com tamggal 15 November 2025, disebutkan sejarah mencatat bagaimana ambisi Uni Soviet membangun reaktor 1.000 megawatt sejak 1977 akhirnya berujung malapetaka pada 26 April 1986.
Kesalahan itu bukan karena perang, bukan serangan musuh, tetapi karena satu tombol komputer tidak berfungsi, dan teknisi yang tak berani menolak perintah atasan.
Dalam ujicoba pendinginan reaktor, Reaktor kekurangan tenaga (200 MW dari minimal 700 MW).
Teknisi dipaksa menjalankan tes, bahkan di bawah ancaman mutasi.
Tombol SCRAM tombol penyelamat reaktor—tak pernah dicek. Sistem pendingin gagal total. Inti reaktor mencapai 3.000°C dan meledak.
Radiasi menyebar hingga tak dapat terdeteksi alat, mencemari udara, tanah, sungai, dan tubuh manusia.
BBC mencatat 90.000 orang tewas dalam jangka panjang, sementara WHO menyebut 600.000 orang terpapar radiasi.
Dan yang paling menakutkan: wilayah itu baru aman dihuni setelah 20.000 tahun.
Bayang-Bayang Chernobyl Membayangi Babel
Bayangkan jika skenario mirip Chernobyl terjadi di pulau kecil seperti Bangka atau Belitung.
1. Evakuasi Mustahil Dilakukan Cepat
Platform evakuasi darurat membutuhkan: jalur darat lebar, moda transportasi massal, titik pengungsian jauh dari pusat radiasi. Di pulau kecil, semua itu sulit dipenuhi.
2. Radiasi Laut Tidak Mengenal Batas
Bangka Belitung hidup dari: nelayan, pariwisata bahari, budidaya ikan, terumbu karang, kuliner berbasis laut.
Jika radiasi menyentuh air laut: ikan, karang, dan biota laut mati atau bermutasi, industri pariwisata kolaps, ekspor seafood ditolak dunia, ekonomi ambruk dalam semalam.
3. Tanah Pulau Tidak Bisa Dibersihkan
Pulau kecil seperti Bangka–Belitung memiliki: tanah tipis, kawasan resapan air minim, keterbatasan zona hijau.
Jika terjadi kontaminasi: tanah harus ditutup selamanya, radius hunian kosong, kampung hilang dari peta, masyarakat kehilangan rumah dan tanah adat.
Chernobyl membuktikan: Teknologi canggih bisa dikalahkan oleh ego dan kelalaian.
Salah satu penyebab utama tragedi itu adalah: operator tak kompeten, atasan otoriter yang memaksa ujicoba, sistem yang tidak diaudit, sensor yang tidak bekerja.
Ketika reaktor membutuhkan pendinginan 24 jam tanpa henti, satu shift petugas yang lalai saja sudah cukup memicu bencana.
Sekarang pertanyaannya:
Apakah Bangka Belitung memiliki SDM, sistem kultur keselamatan, serta infrastruktur audit seterstandar negara maju?
Babel Kepulauan Wisata, Bukan Laboratorium Reaktor
Bangka Belitung punya arah pembangunan yang kuat: pariwisata bahari kelas internasional (Gelasa, Lepar, Pongok, Ketawai). geowisata (Geopark Belitong), perikanan dan kelautan, budaya pesisir yang hidup dari laut.
Menempatkan PLTN di wilayah dengan potensi wisata dan kelautan sebesar ini ibarat menaruh bom waktu di jantung ekonomi daerah.
Bayangan 20.000 tahun mendatang ika bencana PLTN terjadi di Bangka Belitung:
Pulau tidak bisa dihuni kembali bahkan selama 200 generasi manusia.
Radiasi laut menyebar ke Selat Karimata, perairan Natuna, hingga Laut Cina Selatan. Ekonomi provinsi runtuh total.
Identitas pulau dan penduduknya hilang dari peta sejarah.
Kesimpulan: Jika PLTN Dibangun, Risiko Tidak Pernah Nol
Teknologi boleh canggih, studi boleh lengkap, dokumen boleh disusun rapi.
Tetapi: Selama manusia tidak sempurna,
PLTN tidak akan pernah sepenuhnya aman.
Chernobyl mengajarkan bahwa: satu tombol rusak, satu laporan dimanipulasi, satu operator tertekan, satu sistem pendingin terganggu, maka seluruh kota, seluruh pulau bahkan seluruh negara bisa ikut musnah.
Dan Bangka Belitung terlalu kecil, terlalu rapuh, dan terlalu berharga untuk menanggung risiko seperti itu. (JB).








