Oleh: Bangdoi Ahada
OPINI, — Rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di negeri ini kini semakin gacor.
Sebagian pengikut PLTN seolah berlomba-lomba menyalakan mikrofon optimisme.
Katanya, ini solusi masa depan, energi bersih, simbol kemajuan. Tapi seperti ayam jantan yang berkokok subuh-subuh, kadang “gacor”-nya lebih nyaring dari manfaatnya.
PLTN memang terdengar megah — apalagi bila dibumbui kata “thorium”, “teknologi baru”, atau “aman generasi keempat”.
Namun di balik jargon ilmiah dan presentasi power point yang berkilau, ada suara kecil dari masyarakat pesisir, dari nelayan dan petani, yang tak pernah diundang bicara.
Mereka tidak gacor di media, tapi merekalah yang akan pertama kali merasakan panasnya, bukan panas listriknya, tapi panas risiko dan ketidakpastian.
Ironisnya, kita hidup di zaman di mana kata “gacor” identik dengan performa terbaik.
Burung gacor berarti rajin bersuara, pejabat gacor berarti pandai bicara, dan kini pendukung PLTN pun ikut-ikutan gacor.
Namun, seberapa sering kita mengingat bahwa suara keras belum tentu benar? Bahwa teknologi canggih belum tentu cocok di tanah rawan gempa, di pulau kecil yang penuh kehidupan laut, di tengah masyarakat yang belum siap dengan manajemen limbah radioaktif?
PLTN mungkin bisa membuat listrik menyala lebih terang, tapi belum tentu membuat kebijakan menjadi lebih benderang. Kalau yang gacor hanya reaktor, bukan akal sehat, maka yang meledak bukan sekadar uap panas, tapi kepercayaan publik.
Karena itu, sebelum pemerintah makin gacor mempromosikan nuklir di podium, ada baiknya mereka menyalakan “reaktor logika” dulu.
Apakah kita benar-benar butuh PLTN, atau sekadar butuh panggung agar tampak maju?
Jika jawabannya yang kedua, maka percayalah — suara PLTN yang gacor itu justru tanda bahaya.
Bukan karena radiasi, tapi karena terlalu banyak omong kosong dalam sistem kita.
PLTN “Gacor” menggambarkan bahwa pembangunan PLTN di Babel bukan sekadar soal teknologi, tetapi soal:
• kesiapan ruang hidup,
• keadilan lingkungan,
• keselamatan generasi masa depan,
• ketulusan kebijakan publik,
• serta kualitas tata kelola negara.
Dampak negatif terbesarnya adalah: masyarakat menanggung risiko, sementara keuntungan dan panggung politik dinikmati segelintir elit dan penikmat cuan. (red).







